GARA-GARA CEMBURU
Pelajaran Kimia adalah pelajaran yang aku sukai dari kedua Sains lainnya. Aku menyukai saat-saat pelajaran yang dilakukan di laboratorium, berandai-andai kalau aku adalah seorang profesor jenius yang dapat menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Sayangnya, aku tidak dapat berkelompok dengan Devon. Guru Kimia kami mengacak siswa-siswinya dengan mata tertutup sehingga namaku yang berada di atas Devon persis seolah berpindah jauh di bawahnya. Pak Winaryo benar-benar kocak, menggunakan sapu tangan seperti sedang bermain petak umpet hanya untuk membuat pembagian kelompok secara adil.
Padahal aku sangat—sekali—berharap dapat satu kelompok dengan Devon karena yah…kami berpacaran. Aku tahu beberapa dari kalian pasti sangsi kalau mendapati ada teman kalian berpacaran di kelas yang sama. Namun aku sudah telanjur jatuh cinta pada Devon sejak pandangan pertama di masa MOS, sih. Cinta, kan, tidak pandang bulu dan waktu. Dan aku menjadi sangat merinding kalau mengingat-ingat lagi kejadian yang tak akan pernah aku lupakan sepanjang aku bernapas. Tentang bukti cinta Devon, tentang perasaannya, dan tentang pengorbanannya. Pori-poriku akan—dan selalu—merinding kalau aku mencoba kembali ke sebab musabab ini. Anjar.
Ya, sialnya aku sekelompok dengan Anjar, si ketua kelas. Sungguh dengan seluruh jiwa dan raga yang diberikan Tuhan ini, aku berani bersumpah, Anjar lah penyebab semua kekacauan yang terjadi pagi ini di laboratorium Kimia. Anjar lah penyebab perubahan tiga ratus lima puluh derajat kehidupanku. Sepuluh derajatnya aku sisakan untuk tetap bernapas dan hidup—menjalani siksaan yang berat ini.
Aku sedikit telat pagi ini saat memasuki lab Kimia karena aku sempat kehilangan buku presensi (aku adalah sekretaris kelas). Aku harus mencarinya hingga ke sudut-sudut kelas, melongok ke setiap laci para murid yang baunya minta ampun karena laci tersebut dijadikan alternatif pembuangan sampah.
Aku menemukan buku presensi itu di lacinya! Bah. Awas kau Anjar, lihat pembalasanku nanti.
Kemudian ketika aku memasuki ruang lab Kimia, aku mendapati tatapan jenaka yang biasa terpancar dari mata Pak Winaryo berubah menjadi horror, seperti tatapan para zombie haus darah di film Resident Evil. Hal ini membuatku harus meminta maaf sebanyak seribu kali sembari bersujud pada kaki beliau. Namun akhirnya Pak Winaryo kaget saat aku benar-benar melakukan aksiku. Beliau lantas mengibas-ngibaskan tangannya seolah aku ini adalah anjing yang mengendus-endus kue padanya.
Jadilah aku selamat. Devon menatapku dengan mata menyipit, menyiratkan pertanyaan, “Apa yang terjadi?” Lalu aku memberinya isyarat tentang buku presensi dengan menggoyang-goyangkan buku presensi tersebut dengan tanganku di udara yang tertinggal di laci Anjar. Aku menunjuk kepala bagian belakang Anjar dan selanjutnya aku mendengar teguran Pak Winaryo yang omong-omong jadi sensi sekali. “Apa yang kamu lakukan, Cintara? Ayo segera pakai jas labmu atau kalau tidak keluar dari ruangan ini.”
Kemudian pandangannya disapukan ke seluruh ruang lab. “Nah, anak-anak, Bapak akan keluar sebentar. Tidak boleh ada keributan. Dan Anjar,” Pak Winaryo menoleh ke arah Anjar. “Tolong awasi kelas dan jaga agar tetap kondusif.”
Aku menjawab, tergagap, tak terbiasa dengan sikap Pak Winaryo yang berbeda sembilan puluh derajat. “I…Iya, Pak.” Sedangkan Anjar tersenyum lebar dan menjawab ala tentara yang siap siaga. “Baik, Pak.”
“Perlu bantuan untuk memakai jas?” Suara menyebalkan Anjar menyembul dari sisi kiriku. Bisa-bisanya dia melontarkan lelucon yang membuatku melototinya. Sayangnya dia tidak memedulikan tatapan super bengisku dan sudah telanjur menyambar jasku dan menyampirkannya ke badanku.
Tanpa perlu melirik ke belakang—ke bangku Devon, aku sudah merasakan sepasang tatapan menusuk yang nyeri sekali di bagian punggungku.
Aksi menyebalkan Anjar tidak hanya berhenti sampai di situ. Dia bertanya ini-itu tentang apa nama kimia dari gula, larutan apa ini, larutan apa itu, hingga sebuah batang karbon saja dia tanyakan dengan tololnya. Yang parah adalah dia menyangka itu seperti permen yang berbentuk rokok. Sudah hampir lima senti meter dari mulutnya batang karbon itu tertelan, kalau aku tidak saja mencoba untuk menghentikannya.
“Anjar! Kamu bodoh sekali!” Bentakku. “Kamu bisa tidak, sih, diam saja dan mengikuti aturan. Mentang-mentang ditinggal Pak Winaryo sebentar saja kamu bisa berlagak seenak badanmu. Pakai acara joget-joget ala cacing kepanasan pula.”
“Iya, Cantiiiikkkk—Cintara.” Anjar membalas omelanku dengan kerlingan mata dan cubitan di hidungku.
Sial! Devon! Oh, Tuhan. Ini semakin menggila.
Tanpa perlu menunggu lama, Devon berjalan dengan langkah tergesa-gesa penuh emosi yang membara di wajahnya ke arah Anjar yang membelakanginya, masih menggodaku. Aku melihat kilatan petir di matanya, hidungnya kembang kempis—bukan karena senang, tapi karena marah. Kepalanya juga terasa bertambah besar sehingga tidak akan memungkinkan helm yang biasanya dia pakai untuk pulang-pergi ke sekolah muat lagi. Pipinya bersemu merah, bukan karena tersipu malu akan pujian, tetapi karena lava amarah dalam peredaran darahnya telah mendidih dan akan segera meledak.
Demi Tuhan Anjar lancang sekali masih tetap menggodaku sementara dia sendiri cukup tahu kalau Devon adalah pacarku.
Tak perlu lama bagi Devon untuk sampai tepat di belakang Anjar dan seketika keadaan kelas yang ramai riuh oleh argumen-argumen para murid mendadak hilang tertelan oleh corong suara. Anjar yang merasakan perubahan keadaan suasana kelas secara otomatis segera berbalik dan mendapati tubuh Devon yang lebih tinggi darinya telah berdiri tepat di depan hidungnya.
“Ada masalah apa bung dengan Cintara?” Geram Devon. “Buat apa kamu menyembunyikan buku presensi itu darinya? Sengaja membuat Cintara celaka?” Suara Devon meninggi. Tubuhnya seakan juga bertambah tinggi mengikuti nada suaranya, sedangkan Anjar menciut nyalinya seperti tikus ketakutan di kolong jembatan dan menunggu ajal.
“A…aku, aku…” Anjar berusaha mengelak dan berjalan mundur perlahan-lahan. Devon juga serta merta berjalan maju perlahan-lahan.
“Ah sudah! Jangan mengelak lagi, Maho!” Kilah Devon. “Aku sudah muak dengan tingkahmu yang sok tebar pesona.”
Tiba-tiba tangan Devon meraih suatu botol cairan dan membuka tutupnya. Dari instingku, Devon akan menyiram cairan tersebut kepada Anjar. Namun aku terlambat menyadarinya. Ketika semuanya sudah terlalu terlambat, suara di penghujung mulutku baru keluar untuk mencegah Devon melakukan aksi gilanya.
“Devon, jaaa—“ Suaraku tercekat dan terhenti saat gelombang suaraku kalah cepat dengan aksi Devon yang menumpahkan cairan HCL ke tubuh Anjar. Tidak cukup HCL, Devon meraih cairan Aseton dan menuangkannya ke tubuh Anjar lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan korek api.
Kejadian tersebut berjalan sangat cepat. Dalam kedipan mata berikutnya aku melihat kilatan-kilatan api memancar dari tubuh Anjar.
Anjar kemudian terbakar. Seluruh tubuhnya terbakar. Teriakan para murid menjadi latar belakang insiden pagi ini. Devon masih terpaku. Tidak ada ketakukan di wajah dan gelagatnya. Dia menganggap apa yang dia lakukan adalah hal wajar.
Sekarang katakan padaku, apakah cinta sungguh masih pantas diagung-agungkan jika dia dapat membutakan akal sehatmu?
0 comments