KRIM KECANTIKAN
Sudah pukul sebelas malam dan aku baru saja pulang dari kantor. Salah satu temanku yang baru saja pulang dari liburan ke luar negeri memberiku oleh-oleh berupa satu set krim kecantikan. "Gunakanlah untuk wajahmu yang berjerawat itu." Katanya saat di kantor tadi. "Nanti pasti akan sembuh dan kau akan mendapatkan wajah ala bintang yang ada di drama-drama itu lho." Aku yang saat itu sedang gusar menemukan krim kecantikan yang cocok untuk kulitku langsung menerima dengan suka cita. Karena krim kecantikan tersebut adalah buatan luar negeri, aku yakin seratus persen--bahkan seribu persen--kualitasnya tidak perlu diragukan.
Sebelum mandi aku mengambil tas mungil berisi satu set krim kecantikan. Ternyata isinya macam-macam. Selain ada krim siang dan malam, ada krim untuk menghilangkan jerawat, ada tabir surya khusus untuk jerawat, serum, peeling cream, masker, toner, dan milk cleanser. Ya ampun temanku ini baik sekali. Dia masih memikirkanku selagi di luar negeri. Aku harus menelponnya setelah mandi dan mengucapkan terima kasih padanya.
Kuambil salah satu tube dengan tulisan milk cleanser yang tertera di tubuh tube tersebut dan kuoleskan isi produk ke wajahku. Sensasi dingin dan segar segera menyeruak di seluruh permukaan wajahku. Ah, rasanya tidak perlu mandi jika seperti ini. Kuambil lagi beberapa cairan milk cleanser ke wajahku. Aku merasa lebih baik. Mungkin ini hanya perasaanku saja tapi aku bahkan sudah bisa merasakan kulit wajahku yang terbebas dari jerawat dalam beberapa hari ke depan. Produk luar negeri memang benar-benar berkualitas.
Sepertinya produk ini akan cocok dengan kulitku. Batinku sambil melangkahkan kaki menuju shower. Sebentar lagi aku akan mendapatkan wajah yang rupawan dan orang-orang akan mulai menganggapku ada. Tidak akan ada yang menjuluki si bebek atau buruk rupa lagi.
Mulanya, setelah seminggu pemakaian, terdapat perubahan yang signifikan. Terlihat dari teman-teman di kantorku yang mulai menyapa dan berperilaku ramah padaku. Bahkan Edgar juga sampai berhenti sejenak dari aktivitas mengambil minuman dari dispenser dan menatapku tanpa berkedip saat aku lewat di sampingnya.
Ini membuatku senang sehingga aku semakin giat menggunakan krim kecantikan tersebut. Sebenarnya dalam penggunaannya, terdapat takaran dosis tertentu. Namun karena aku sudah tidak sabar lagi untuk mendapatkan hasil yang maksimal, aku menambah takaran dosisnya menjadi dua kali lipat. Hasilnya benar-benar memukau. Kulit wajahku sekarang tampak sempurna--tampak glowy seperti artis-artis luar negeri yang sering kulihat di televisi.
Namun aku tidak tahu kalau penggunaan krim ini dalam jangka panjang akan membuat kulitku menjadi sangat sensitif. Terkena sinar matahari sedikit saja membuat wajahku merah seperti terbakar sehingga teman-temanku menjadi khawatir. Aku sempat mendengar beberapa dari mereka mulai mencemoohku lagi dan mengataiku untuk tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan krim kecantikan. "Mau tampil cantik malah terlihat seperti kuntilanak." yang dilanjutkan dengan tawa penuh cibiran.
Aku bergeming mendengar cibiran mereka. Cara apalagi yang bisa kulakukan untuk membuat mereka berkesan dan tetap berteman denganku? Tidak ada? Oh pasti ada. Aku hanya harus menambah dosis pemakaiannya saja dan pelembab.
Dan, ah, lihatlah. Setelah kuolesi pelembab dari aloe vera yang memberikan sensasi dingin pada wajahku pasti akan membuat kemerahannya menghilang.
Awalnya memang begitu. Kulit wajahku memang kembali normal. Tapi bukan sensasi dingin yang kudapati ketika kuolesi pelembab dari aloe vera. Aku merasakan kulit wajahku terbakar oleh sengatan api yang menjalar masuk menembus kulit hingga jaringan kulit terdalam—bahkan mungkin sampai aliran darah, entahlah aku tidak begitu yakin.
Yang pasti rasanya sangat menyakitkan. Aku beringsut lari ke arah cermin di kamar mandi. Wajahku kembali memerah—bahkan lebih parah—di seluruh permukaannya. Kusentuh dan kuraba wajahku namun kemudian malah membuat kulit wajahku terkelupas. Oh, tidak. Kulit wajahku tidak terasa halus lagi.
Aku menelan air ludahku. Apa yang harus kulakukan? Aku akan kehilangan teman-temanku. Dan Edgar. Aku tidak mau. Aku tidak mau kehilangan itu semua hanya karena wajahku jadi rusak seperti ini.
Keran wastafel segera kunyalakan dan kubasuh wajahku dengan brutal. Harus bersih. Harus kembali seperti tadi siang. Harus mulus lagi. Aku membasuh dan menggosok wajahku semakin kuat dan keras. Kugosok bagian pipi dan perlahan aku merasa pipiku menjadi halus. Kugosok lagi bagian hidung dan terasa halus di telapak tanganku. Kemudian kugosok bagian dahi dilanjutkan dengan dagu.
Aku merasa mantap. Pasti wajahku sudah kembali normal. Namun ketika aku menengadah dan menatap cermin, aku melihat pantulan wajahku yang berwarna merah lengkap dengan urat-urat pembuluh darah berwarna hijau kebiruan.
Dan aku berteriak.
Terus berteriak sendirian dan meratapi wajahku yang rusak.
****
Ide ini muncul di bulan Februari lalu. Sempat terbengkalai sekian lama sebelum pada akhirnya baru beberapa waktu lalu aku selesaikan. Aku lupa bagaimana awalnya aku mendapatkan ide ini tapi cerita ini mengingatkanku tentang pengalaman waktu aku kelas sebelas saat ada anak cowok menyebutku berkulit hitam.
Dia punya pacar yang saat itu sempat jadi teman dekatku. Pacarnya sangat terobsesi memiliki kulit wajah putih sampai dia sering bercerita padaku krim-krim pemutih apa saja yang dia baru beli. Sayangnya semua krim itu dia beli secara online melalui Instagram. Dan kita tidak pernah tahu apakah krim itu asli dan aman. Aku tidak bertanya lebih detail mengapa dia tidak mau mencoba membeli krim pemutih dari dokter kecantikan yang mungkin lebih aman tapi agak mahal tapi dia sempat bilang kalau ada anak yang jadi punya ketergantungan untuk memakai produk dari dokter itu.
Kenyataannya sekarang aku juga pakai krim dari dokter itu, bukan krim pemutih, hanya krim pembasmi jerawat yang kupakai sekali-kali kalau aku sedang berjerawat. Dan krim dari dokter itu nyatanya tidak membuat kulitku ketergantungan. Entahlah, aku tidak tahu jalan pikirannya bagaimana.
Kulit dia memang terlihat lebih putih dan cerah dalam waktu singkat. Saking putihnya jadi terlihat seputih tepung terigu atau makeup yang dipakai hantu kuntilanak di film-film. Aku tidak tahu harus senang akan perubahan wajahnya atau miris.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku memperhatikan, punya warna kulit cokelat itu tidak jelek. Saat anak cowok itu menyebutku hitam, aku bingung dan bertanya-tanya apakah dia belum pernah melihat orang Afrika atau negro? Di luar negeri warna kulit seperti itu dikatakan eksotis dan cantik. Dan lama-lama aku perhatikan kulit orang Indonesia juga cantik-cantik. Aku sudah tidak berpikir kalau berkulit cokelat atau gelap itu tidak sempurna dan layak dikasihani. Warna kulit kita itu manis, unik, dan cantik. Aku suka melihat orang yang punya warna kulit kuning langsat, cokelat, sawo matang, cokelat keemasan, dan lain-lain. Bukankah itu keren banget kita bisa punya macam-macam warna jenis kulit?
Yaah, semoga kita bisa lebih bangga dan percaya diri dengan warna kulit asli kita ya kedepannya. Kita harus mulai melihat perbedaan warna itu sebagai suatu yang bervariasi dan unik. Bukannya merasa rendah diri, Cheersss!
Ide ini muncul di bulan Februari lalu. Sempat terbengkalai sekian lama sebelum pada akhirnya baru beberapa waktu lalu aku selesaikan. Aku lupa bagaimana awalnya aku mendapatkan ide ini tapi cerita ini mengingatkanku tentang pengalaman waktu aku kelas sebelas saat ada anak cowok menyebutku berkulit hitam.
Dia punya pacar yang saat itu sempat jadi teman dekatku. Pacarnya sangat terobsesi memiliki kulit wajah putih sampai dia sering bercerita padaku krim-krim pemutih apa saja yang dia baru beli. Sayangnya semua krim itu dia beli secara online melalui Instagram. Dan kita tidak pernah tahu apakah krim itu asli dan aman. Aku tidak bertanya lebih detail mengapa dia tidak mau mencoba membeli krim pemutih dari dokter kecantikan yang mungkin lebih aman tapi agak mahal tapi dia sempat bilang kalau ada anak yang jadi punya ketergantungan untuk memakai produk dari dokter itu.
Kenyataannya sekarang aku juga pakai krim dari dokter itu, bukan krim pemutih, hanya krim pembasmi jerawat yang kupakai sekali-kali kalau aku sedang berjerawat. Dan krim dari dokter itu nyatanya tidak membuat kulitku ketergantungan. Entahlah, aku tidak tahu jalan pikirannya bagaimana.
Kulit dia memang terlihat lebih putih dan cerah dalam waktu singkat. Saking putihnya jadi terlihat seputih tepung terigu atau makeup yang dipakai hantu kuntilanak di film-film. Aku tidak tahu harus senang akan perubahan wajahnya atau miris.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku memperhatikan, punya warna kulit cokelat itu tidak jelek. Saat anak cowok itu menyebutku hitam, aku bingung dan bertanya-tanya apakah dia belum pernah melihat orang Afrika atau negro? Di luar negeri warna kulit seperti itu dikatakan eksotis dan cantik. Dan lama-lama aku perhatikan kulit orang Indonesia juga cantik-cantik. Aku sudah tidak berpikir kalau berkulit cokelat atau gelap itu tidak sempurna dan layak dikasihani. Warna kulit kita itu manis, unik, dan cantik. Aku suka melihat orang yang punya warna kulit kuning langsat, cokelat, sawo matang, cokelat keemasan, dan lain-lain. Bukankah itu keren banget kita bisa punya macam-macam warna jenis kulit?
Yaah, semoga kita bisa lebih bangga dan percaya diri dengan warna kulit asli kita ya kedepannya. Kita harus mulai melihat perbedaan warna itu sebagai suatu yang bervariasi dan unik. Bukannya merasa rendah diri, Cheersss!
0 comments