RUMAH BALON 2
Untuk membaca bagian pertama, klik baca di sini.
Orang-orang di lantai bawah terlihat berlarian ke sana ke
mari. Namun ada yang berhenti seperti patung di tempat, masih belum menyadari
kalau beberapa orang yang berjalan dengan gontai dan kulit memucat adalah zombie.
Mereka bahkan mengajak bicara dan menanyakan apakah mereka—para zombie
ini—baik-baik saja. Dan ketika aku menoleh ke belakang, sudah banyak orang berkumpul di depan pintu yang menuju ruang rahasia itu.
Oh, tidak. Bagaimana ini. Jangan-jangan orang-orang sudah
tahu tentang ruang rahasia itu. Dan aku malah berada di luar sini padahal tadi aku
sudah—dengan sangat nyaman—berada di dalam ruang itu. Aku sudah aman di sana
tapi aku malah keluar lagi. Kenyataannya aku sama saja seperti orang-orang di
dalam film zombie.
Tapi mungkin aku masih memiliki kesempatan. Sudahlah, tidak
peduli lagi bagiku untuk memikirkan orang-orang yang juga perlu masuk ke ruang
tersebut atau tidak—aku tahu di sini aku terlihat egois sekali, tapi ruangan tersebut
tidak besar dan tidak semua orang bisa masuk ke sana—aku dengan segera ikut
menyerobot di antara kerumunan tersebut. Begitu aku tiba di muka pintu, aku
menggedor-gedor pintu tersebut dengan beringas dan berteriak seperti
orang-orang untuk segera membukakan pintu. Aku lupa aku mengucapkan apa saja tapi
tiba-tiba pintu tersebut terbuka dan aku segera masuk. Pintu itu bukan pintu
otomatis. Seseorang membukakannya untukku dan begitu aku melalui pintu
tersebut, orang tersebut menutupnya lagi. Atau lebih tepatnya berusaha menutup
dan segera menguncinya namun di saat yang sama harus menghalau orang lain
masuk.
Orang itu adalah wanita yang tadi sempat menanyaiku siapa.
Dan sekarang dia terlihat marah. “Kamu tidak seharusnya keluar ke sana.” Katanya
sambil membantu mendorong pintu tersebut tertutup. Aku juga ikut mendorong
pintu tersebut tertutup. Tapi kami hanya berdua dan kami hanya perempuan yang
melawan kerumunan orang-orang. Sialnya, pintunya tidak mau menutup rapat. Ya
ampun padahal tinggal menutup lalu mengunci dan sudah.
Aku tahu ini adalah salahku. Sekarang aku tidak hanya
membahayakan diriku tetapi orang-orang yang ada di ruangan kaca tersebut.
“Tetap tahan pintu ini.” Wanita itu tiba-tiba melepaskan
tangannya dari pintu. Dia segera berlari ke arah tangga. “Tahan dan usahakan
sambil menutupnya. Aku akan bantu menutupnya menggunakan tombol.” Oh, ternyata
pintu ini adalah pintu otomatis. Aku mengangguk padanya.
Begitu sampai di puncak tangga, tangan wanita tersebut
menghilang di balik pintu dan seketika pintu yang kudorong dari tadi menutup
sendiri. Sesaat aku berdiri terdiam sambil memandangi pintu yang akhirnya
berhasil tertutup. Aku masih bisa mendengar orang-orang yang berteriak dan
menggedor-gedor pintu dan berusaha masuk. Pintu tersebut bergeming. Namun
sesaat aku bertanya-tanya apakah pintu tersebut akan jebol dan mereka akan
menerjang kami dan membantai kami? Mengingat ruangan di atas adalah ruang kaca,
mudah bagi mereka untuk melempar sesuatu dan membalas dendam pada kami.
“Semua sudah aman.” Suara wanita tersebut membuyarkan
lamunanku. “Pintu tersebut tidak akan jebol.” Katanya dari ujung tangga seolah
bisa membaca pikiranku. Dia sudah nyaris menutup pintunya sebelum berkata,
“Sekarang, cepat naiklah.”
Aku segera berlari dan wanita tersebut lantas menutup
pintunya. Kemudian ia berjalan menuju dinding di belakangnya. Ke dinding kaca
yang menampilkan pemandangan kota. Anehnya sekarang terdapat meja besar berisi
penuh tombol dan entah sejak kapan aku tidak menyadari ini tapi terdapat
sedikit ruang kecil di depannya, seperti balkon tertutup.
Wanita itu berjalan ke arah meja besar dan menekan beberapa
tombol. “Baiklah sekarang kita akan pergi.”
Aku mengerutkan alisku, kebingungan. “Pergi ke mana?”
“Kamu tidak tahu kalau kita sedang berada di pesawat?”
Aku menggeleng dan memberikan tatapan penuh tanya sebagai
pengganti kata, “Apa?”
“Jadi kamu belum tahu.” Simpul wanita itu. “Dikatakan pesawat
sebenarnya juga bukan. Ini adalah balon yang mengangkat tiga lantai bangunan. Kami
menggunakan api. Cara kerjanya sama seperti balon udara. Namun apinya berada di
bawah. Kita sendiri ada di lantai teratas.” Wanita itu kemudian berjalan ke
arah balkon. “Ayo ikut aku.”
Aku segera mengekornya. Dia berhenti setelah tiba di ujung
balkon, berbalik badan dan menundukkan kepala. Aku juga ikut menundukkan kepala
dan—Holly—lantainya terbuat dari
kaca! Aku melihat ada dua lantai lagi di bawah ruangan yang kutempati sekarang.
Dan terdapat balon di bawah lantai terbawah. Ruangan ini sendiri ternyata sudah
bergerak dan aku sendiri bisa melihat kalau kami sudah sangat tinggi dari permukaan tanah. Keadaan terlihat sangat kacau balau di bawah sana. Orang-orang berlari
dari kejaran zombie. Barisan polisi berusaha membuat tameng namun gerakan
zombie yang gesit sepertinya membuat para polisi kewalahan. Aku menyipitkan
mata dan merasakan bulu kudukku meremang saat seorang zombie berhasil menggigit
lengan seorang polisi.
“Sudah,” Suara wanita itu membuatku menatapnya. Ia berjalan
masuk ke dalam ruangan lagi dan mendekati meja kontrol. “Tidak perlu dilihat.”
“Yang aku masih bingungkan adalah,” Aku berjalan mengekornya
menuju meja. “Mengapa Anda membolehkanku ikut balon ini? Maksudku, aku bukan
siapa-siapa.”
Wanita itu tersenyum. Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia
menekan sebuah tombol dan kemudian terdapat panel yang muncul ke permukaan meja
hingga menampakkan sebuah…sayur sawi putih. “Ini adalah bahan bakar balon ini.”
Aku memberikan tatapan penuh pertanyaan. Kukira bahan
bakarnya adalah gas atau api atau semacamnya. Tapi bukan, ya?
“Kami mengubah sawi putih menjadi tenaga api.” Terang wanita
itu. “Selain sawi putih kita juga butuh air. Masih ada cukup air dan sawi putih
hingga tiga hari ke depan. Kita harus bergerak cepat dan mendarat di kota yang
belum terinfeksi zombie untuk membeli berbagai keperluan.”
Aku mengerjap-ngerjap tak percaya. Beberapa menit yang lalu
aku masih di dalam mall dan berada di tengah kerumunan. Tapi sekarang aku
berada di balon kaca yang unik ini, mengudara entah ke mana.
“Kamu akan jadi asistenku.” Kata wanita itu lagi. “Kita nanti
akan turun bersama dan mencari bahan-bahan yang diperlukan.”
Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Aku masih
tercengang membayangkan situasi yang bisa berubah 180 derajat hanya dalam
hitungan menit. “Untuk sekarang,” Wanita itu menyentuh pundakku dan tersenyum.
“Kamu bisa rileks dan beristirahatlah. Balon ini bisa mencari jalan secara
otomatis. Kita bisa terbang sangat rendah ataupun sangat tinggi.”
Dan dari sekian hal yang bisa aku ungkapkan, aku malah
bertanya, “Apakah balon ini aman?”
Wanita itu lantas tertawa. Bukan tertawa mengejek. Namun
mimiknya langsung berubah serius ketika mengatakan, “Tentu saja aman.” Dia
berjalan menuju salah satu ruang kotak—kamar tidurnya—menoleh sejenak kepadaku.
“Selama tidak ada yang menembak balon kita dan selama sawi putih masih ada.
Selamat beristirahat.” Katanya sebelum menutup tingkap ruangnya.
Semua orang yang berada di ruangan ini telah masuk ke dalam
ruang mereka masing-masing. Hanya aku yang masih berada di luar ruang, berdiri
mematung, dan menatap lamat-lamat dinding kaca di depanku. Aku masih
terguncang. Siapa, sih, yang tidak?
Di samping rasa terkejutku tentang bencana zombie yang dulu selalu
aku bayangkan dan takutkan akan terjadi, dan malah benar-benar terjadi, aku
juga tidak kalah kaget dengan balon kaca ini. Maksudku, perusahaan ini sungguh
keren sekali bisa membuat teknologi balon terbang yang terbuat dari kaca dan
menggunakan sawi putih sebagai bahan bakarnya. Aku tidak menyangka Indonesia
bisa semaju ini dalam membuat teknologi. Aku yakin kalau ditangani lebih
serius, sebenarnya Indonesia tidak kalah hebat dengan negara-negara barat sana.
Sementara itu, balon kaca ini terus melayang dengan kecepatan
stabil berada di atas bangunan-bangunan tinggi kota. Kami terus melayang hingga
hari sudah mencapai senja dan matahari menggelayut enggan. Tiba-tiba balon kaca
berbelok ke kiri dan melayang sangat rendah. Dikatakan sangat rendah karena bangunan-bangunan
di depan kami adalah sebuah kawasan universitas dengan bangunan-bangunan yang
jaraknya saling berdekatan.
Balon kaca terus melayang meliuk-liuk menghindari bangunan
demi bangunan di kawasan universitas. Terkadang bahkan sedikit menukik yang
menyebabkan jarak antara tanah dan balon hanya beberapa senti saja.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan balon kaca ini—jika ia
memiliki otak—dengan melakukan atraksi gila, tapi ini sungguh sangat rendah dan
berbahaya! Bagaimana jika ada zombie yang menerkam balon kaca ini? Ya ampun aku
harus membangunkan wanita itu.
Tapi tunggu dulu. Orang-orang yang berada di kawasan
universitas ini bukan zombie. Mereka masih manusia, setidaknya begitulah yang
kudapati sejauh aku memandang. Di kemungkinan terbaik kita pasti selalu
berharap tidak ada yang namanya wabah zombie, bukan?
Suasana di sini nyaris tenang—untuk ukuran beberapa puluh
kilometer saja dari wabah zombie yang kulihat beberapa jam lalu. Aku tidak tahu
butuh waktu berapa lama lagi hingga harus kulihat wilayah ini berubah menjadi
kacau. Aku berharap tidak pernah. Angin sore berhembus dengan pelan.
Pohon-pohon besar dan rindang meneduhkan beberapa bagian bangunan dan halaman
kawasan universitas ini. Balon kaca pun secara otomatis mengurangi kecepatannya
seolah membiarkanku menikmati pemandangan indah terakhir yang bisa kusaksikan. Beberapa
dari mereka menatap takjub balon kaca kami begitu kami melintas di hadapan
mereka. Beberapa yang lainnya tetap berjalan tak acuh dan terburu-terburu
sambil membawa beberapa tumpukan buku.
Wanita itu akhirnya keluar dari ruanganya dan dengan bangga
mengatakan, “Keren sekali, kan, balon kaca ini.” Aku menoleh padanya. Dia
tersenyum padaku.”Sudah, kamu tidak perlu khawatir.”
Seakan bisa membaca pikiranku, dia melanjutkan. “Lihatlah,
mereka masih manusia. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Beberapa menit setelah
ini kita akan berhenti sejenak dan mencari bahan bakar dan keperluan.
Bersiap-siaplah.” Wanita itu memberi komando. Aku mengangguk tegas padanya.
Setelah melewati kawasan universitas, balon kaca kami
melanjutkan perjalanan melewati kompleks perumahan sebelum pada akhirnya
berujung di jalan raya besar dua arah. Saat hendak menaikkan posisi ketinggian,
balon kaca kami mendadak oleng. Wanita itu lantas segera beranjak ke panel
kontrol kemudi dan menekan beberapa tombol yang aku tidak tahu.
“Ambilkan aku sawi putih yang berada di samping kamar mandi!”
Serunya padaku. Tanpa diperintah dua kali aku segera berlari menuju tempat yang
dimaksud dan menemukan sebuah kotak besar tempat persediaan berada. Terdapat beberapa buah sawi putih. Aku mengambil satu, berlari ke
arahnya, dan menyerahkan sawi putih tersebut.
Terdapat sebuah tempat kosong berukuran segi panjang tutupnya
telah terbuka di antara beberapa tombol. Sawi putih diletakkan di dalam yang
tempat itu dan wanita itu menutupnya. Balon kaca akhirnya melayang dengan
seimbang dan stabil. Perlahan-lahan ketinggian balon kaca juga ditingkatkan.
Wanita itu juga akhirnya bisa menghebuskan napas yang
sepertinya telah tertahan untuk beberapa saat sejak balon kaca oleng. “Aku
tidak menyangka akan secepat ini kita harus mengganti sawi putih yang baru.”
Tampak berpikir sejenak, wanita itu kemudian berkomunikasi dengan seseorang
melalui mikrofon yang berada di satu tempat bersama tombol-tombol kontrol
kemudi. Dia berkata pada seseorang yang sepertinya adalah teknisi untuk
mengecek bagian mesin penggerak selagi dirinya pergi bersamaku untuk mencari
bahan-bahan keperluan.
Kami melayang selama setengah jam dan berhenti di sebuah
tanah lapang, semacam lapangan yang tidak terpakai. Sempat terpikirkan olehku
bagaimana jika kesunyian ini menandakan tempat ini sudah mati lantaran dikuasai
oleh zombie? Tapi lantas pikiranku seakan mengatakan wanita itu tidak mungkin
mendaratkan balon kaca di tempat yang tidak aman.
Beberapa orang dalam balon kaca turut keluar, beristirahat
sejenak, dan menenangkan pikiran dengan menghirup udara yang masih segar
setelah seharian berada di dalam ruangan tertutup. Aku memandang ke angkasa.
Langit tampak jernih tanpa adanya awan. Burung pun tidak ada yang tampak
berkeliaran sejauh mata memandang.
Tapi sesuatu mendadak menggelapkan langit dan jantungku
nyaris copot ketika aku melihat ada kapal terbang! Sungguh aku tidak berbohong
akan sesuatu yang sedang aku lihat. Itu adalah kapal—bentuknya seperti kapal
bajak laut di film Peter Pan—berwarna cokelat tua keabu-abuan, lengkap dengan layarnya yang
berukuran besar. Layaknya air, kapal itu terlihat meliuk-liuk dengan lembut, dan melayang dengan kecepatan stabil. Wanita itu tiba-tiba sudah ada di sampingku
dan turut menengadah menatap langit. “Beberapa orang juga sudah mempersiapkan
transportasi mereka masing-masing. Di luar sana masih banyak transportasi
aneh-aneh yang mungkin akan kamu jumpai.” Aku menatapnya. Dia menoleh padaku
dan tersenyum. “Asyik, kan?”
Aku mengangguk. Perjalanan ini tidak sepenuhnya mengerikan
ataupun menakutkan seperti yang aku bayangkan. Berpetualang dengan balon kaca?
Ah, siapa takut. Belum genap sehari aku terbang dengan balon kaca saja aku
sudah merasa balon ini adalah rumahku. Rumah baruku setelah wabah zombie
melanda.
Wanita itu menepuk pundaku lembut, membuyarkan lamunanku.
“Ayo, kita bersiap-siap mencari bahan-bahan keperluan.” Dan begitu aku toleh
mengikuti arah wanita itu berjalan, aku melihat ada sebuah motor matic yang
siap kunaiki bersama wanita itu. Kami lantas pergi mencari bahan-bahan
keperluan untuk beberapa hari ke depan.
****
Sayangnya mimpi yang indah ini harus berhenti sampai di sini.
Aku tidak tahu apakah aku benar-benar mengakhiri mimpi ini dengan baik tapi
sepertinya, untuk ukuran mimpi, jalan cerita seperti ini sudah lumayan lengkap,
runtut, dan masuk akal—tentu saja. Tidak ada yang benar-benar masuk akal jika
itu menyangkut mimpi.
Untuk menyelesaikan bagian kedua ini, aku membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk hanya sekadar menulis dari apa yang sudah aku alami.
Maksudku, aku tidak perlu susah payah memikirkan nama tokoh, latar tempat,
jalan cerita, konflik masalah, penyelesaian lagi layaknya membuat cerita baru.
Mimpi ini bahkan sudah mewakili semuanya. Dan percaya atau tidak, total halaman untuk cerita Rumah Balon ini mencapai 10 halaman. Aku tidak menambahkan bumbu penyedap agar cerita ini terlihat seperti dongeng. Semuanya murni berdasarkan mimpi yang sudah aku alami. Kalau dikurangin mungkin saja bisa terjadi. Mimpi ini datang tahun lalu di akhir bulan puasa dan mungkin beberapa bagian sudah terlupakan. Tapi sejauh yang coba aku ingat, mimpi ini sudah mencakup keselurahan isi mimpi yang berhasil aku ingat.
Yang membuatku lama untuk menyelesaikan bagian kedua ini
sebenarnya adalah murni karena kemauanku sendiri. Kemalasanku dan ketakutanku
yang tidak bisa menulis dengan detail. Aku harus benar-benar membayangkan
diriku seperti baru saja mimpi itu aku alami kemarin, ketika aku baru saja
bangun di pagi hari dengan jantung berdebar-debar dan meyakinkan diriku
berulang kali kalau itu hanya mimpi. Aku harus benar-benar memposisikan diriku
seperti itu, mengingat-ingat dengan jelas bagaimana perasaanku dan apa yang aku
pikirkan selama aku mengalami mimpi itu.
Sejauh ini aku sudah empat kali bermimpi tentang zombie.
Update dari bagian pertama ketika aku menuliskan aku sudah mengalami tiga kali
bermimpi tentang zombie. Beberapa minggu yang lalu, mungkin bulan lalu, atau
dua bulan yang lalu, aku tidak begitu ingat, aku bermimpi zombie untuk yang
keempat kalinya. Mimpi keempat ini tidak terlalu panjang. Dan aku tidak
benar-benar bertemu dengan zombie. Kami hanya bersembunyi di dalam rumah.
Kemudian ada dua orang yang sudah setengah berubah menjadi zombie meminta
makanan pada kami karena mereka lapar. Mereka bahkan masih bisa bergurau dan
tahu diri untuk segera meninggalkan rumah kami karena hanya butuh waktu
sebentar lagi sampai mereka benar-benar kehilangan sadar.
Akhir kata, aku selalu berharap dan berdoa apa yang aku
bayangkan tidak pernah terjadi. Walaupun aku masih tetap bertanya-tanya apakan
para peneliti sedang membuat senjata biologi, seperti Amerika terhadap Rusia,
dan lain-lain. Maksudku beberapa negara sedang bersitegang satu sama lain.
Mereka pasti selalu merencanakan sesuatu sebagai langkah strategis yang
menguntungkan mereka dan merugikan pihak lain. Tapi aku harap tidak pernah ada
senjata biologi dan keteledoran, dan ambisi duniawi belaka yang bisa
menghancurkan pihak-pihak lain yang tidak bersangkutan.
Semoga kita selalu hidup dalam kedamaian dan ketenangan. Dan semoga kalian suka cerita ini sebesar rasa sukaku.
0 comments