![]() |
Sumber: Bon Appetit |
Ya ampun, aku harus membagikannya pada kalian kesibukan apa saja yang terjadi padaku akhir-akhir ini: aku baru saja memutuskan untuk membawa minatku terhadap matcha ke tingkat selanjutnya.
Kalian tahu bahwa belakangan ini aku sedang berada di fase reading slump. Jadi salah satu pikiranku pun bercabang untuk mencari minat lain. Aku tidak menyangka akan memilih matcha. Rasanya seperti terjadi begitu saja. Seperti tiba-tiba loncat dan jatuh. Terdengar impulsif, tapi sebenarnya tidak.
Aku sudah memikirkannya masak-masak sejak November.
Pada awalnya ketika (kalau tidak salah) matcha mulai booming di Indonesia sekitar tahun 2015-2016, aku ikut mencicipi dan ternyata aku menyukainya. Alhasil setiap kali aku menemukan menu matcha di kafe atau rumah makan, aku pasti akan langsung memilih matcha tanpa pikir panjang.
Kemudian sejak 2020, aku tiba-tiba terpapar dengan rasa cokelat. Tentu saja rasa cokelat adalah rasa kuno. Namun saat itu rasanya aku jatuh cinta pada rasa cokelat untuk pertama kalinya. Cokelat yang dimaksud di sini adalah rasa dark chocolate dengan dominan pahit sekitar 60-80%. Semakin pekat, maka aku semakin suka. Sejak saat itulah, ketertarikanku pada matcha turun satu tingkat, tergantikan oleh cokelat.
Sampai sekarang cokelat tetap menduduki tahta nomor satu, kok. Matcha nomor dua.
Namun di akhir November, mataku memandang matcha lebih dalam.
Kurasa trigger-nya dimulai dari postingan random yang dibagikan oleh sebuah toko buku independen yang membuka gerainya di pop-up market di bulan Oktober. Dia bercerita bahwa ada matcha cafe yang penuh antrean–yang bahkan pengunjung sebenarnya tidak tahu itu antrean apa. Biasa, lah, ya, orang Indonesia dengan kefomoannya.
Pemilik toko buku independen ini menyebutkan nama matcha cafe Hakuji. Aku mencoba main ke halaman Instagram mereka dan tampilan visualnya cukup menarik. Kemudian akhirnya nasib mengantarkanku untuk dapat mencicipi matcha Hakuji ini di akhir November ketika mereka muncul di pop-up market di bilangan Jakarta Selatan. Aku juga mampir ke toko buku independen yang kebetulan juga muncul di pop-up market tersebut. Jadi sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Ujung-ujungnya gak mau rugi, meskipun akhirnya tetap boncos juga karena beli buku dan matcha.
Di sana aku sempat melihat visual ketika matcharista menuang susu, hojicha, mengaduknya, hingga menuang larutan hojicha ke gelas plastik yang sudah diisi oleh susu. Karena visual hojicha yang berwarna cokelat mengingatkanku pada cokelat, aku langsung memesan varian yang sama.
Ini pertama kalinya aku melihat pengalaman meracik matcha secara keseluruhan dari awal hingga akhir. Bahkan matcharista menawarkan padaku apakah aku ingin merekam proses ini. Kemudian matcharista juga menawarkanku untuk mencium aroma hojicha yang telah diaduk. Dari aromanya saja aku mencium aroma yang rich, kental, dan creamy. Maafkan deskripsiku yang buruk karena kejadiannya sudah agak lama. Intinya begitulah kesan pertamaku.
Dari situ aku mulai mengulik-ngulik tentang matcha. Rasanya seperti memasuki dunia baru. Semakin lama halaman akun media sosialku penuh dengan matcha. Konten-konten tentang matcha, dari proses meracik matcha dengan berbagai macam bubuk matcha, rasio yang berbeda-beda, variasi resep fusion modern, hingga rating dan review matcha-matcha mana saja yang patut dicoba berseliweran di mana-mana. Ini sempat membuatku merasa kewalahan dan akhirnya aku mencoba slow down dan take it slowly.
Aku mencoba belajar dari berbagai sumber, tentang nama-nama alat untuk meracik matcha, menemukan rasio meracik matcha latte, usucha, koicha, hingga menemukan takaran rata-rata yang sesuai dengan preferensiku.
Bahkan setelah itu semua, aku sempat masih ragu. Bagaimana kalau tindakanku ini adalah sebuah tindakan impulsif belaka? Karena jika aku ingin terjun ke dunia matcha dan menjajal home cafe matcha, maka aku harus membeli matcha kit set sekalian dan juga bubuk-bubuknya. Not necessary needed, kalau kamu tanya, mengingat harganya juga tidak murah.
Ya ampun aku merasa hobi orang dewasa itu mahal. Mungkin karena sudah cukup niche dan ada sense of deep dive and collecting.
Butuh empat bulan lamanya aku berpikir untuk mengambil keputusan bahwa, ya, oke, mari kita lakukan ini. Di awal Maret akhirnya aku mulai membeli peralatan matcha dan bubuk matcha pertamaku. Rasanya sungguh tidak sabar untuk mencoba meracik dan mencicipi matcha.
Pengalaman pertama dalam meracik matcha sungguh meledak-ledak. Aku ingat hal awal-awal yang kulakukan setelah bangun tidur di hari weekend bulan Maret adalah langsung meracik matcha dan meminumnya. Aku memutuskan untuk menggunakan metode cold whisk—mengocok dengan air dingin suhu ruang atau air es. Bedanya, pada kondisi ini aku mengganti air dingin dengan susu suhu ruang.
Menurut tradisi Jepang, metode tradisional untuk membuat matcha dikenal sebagai usucha, yang berarti teh tipis. Langkah-langkah metode tradisional ini menggunakan air panas bersuhu 70–80°C. Untuk lebih lengkapnya, terkait hal ini akan kusimpan di postingan Matcha 101. Tunggu tanggal mainnya, ya!
![]() |
Pure Ceremonial Matcha by Tea Heaven. |
Untuk pengalaman pertama, hasil kocokannya tidak terlalu buruk, ya. What do you think? Menurutku pribadi, aku cukup puas dengan hasil ini.
- Warna vibrant. matcha berhasil larut dengan baik.
- Shinny Surface: terlihat ada kilau halus di atasnya, jadi sudah ada tanda-tanda emulsifikasi bagus.
- Busa halus: Busa halus atau microfoam berhasil terbentuk.
Karena terlalu bersemangat, aku minum matcha buatanku sendiri langsung setelah bangun tidur dalam kondisi perut kosong. Awalnya aku membuat sekitar 160 ml matcha latte. Karena rasanya enak dan aku merasa masih kurang, aku buat 160 ml lagi. Lalu, karena gelasku masih tampak setengah kosong, aku tambahkan lagi 160 ml. Tanpa sadar, total yang kuminum hari itu adalah 480 ml matcha latte—nyaris setengah liter sendiri.
Sejak siang sampai malam, aku merasa kembung. Setelah aku cari tahu, ternyata matcha bisa memicu naiknya asam lambung, terutama jika diminum saat perut kosong.
Jadi buat kamu yang punya GERD atau lambung sensitif harus lebih berhati-hati, ya. Pastikan minum matcha setelah makan, atau setidaknya jangan dalam kondisi perut kosong.
Setelah aku melakukan tindakan bodoh ini, aku baru menemukan video Tiktok yang terkenal tentang seorang perempuan yang masuk rumah sakit karena kebanyakan minum matcha. Ya ampun aku masih terselamatkan.
Lesson learned: memang yang berlebihan itu tidak ada yang baik. Minum matcha pun ada timing-nya.
Comments
Post a Comment